watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

NAMAKU TEDDY

Namaku Tedy. Aku mahasiswa salah satu
perguruan tinggi di Bandung. Saat ini aku kuliah
semester II jurusan TI. Sejak awal kuliah, aku
tinggal dirumah kakak ku. “Kak Dewi” begitulah
aku memanggilnya. Usianya terpaut 5 tahun
denganku. Ia sebenarnya bukan kakak
kandungku, namun bagiku ia adalah kakak dalam
arti yang sebenarnya. Ia begitu telaten dan
memperhatikan aku. Apalagi kini kami jauh dari
orang tua.
Rumah yang kami tempati, baru satu tahun dibeli
kak Dewi. Tidak terlalu besar memang, tapi lebih
dari cukup untuk kami tinggali berdua. Setidaknya
lebih baik dari pada kost-kostan. Kak Dewi saat ini
bekerja disalah satu KanCab bank swasta
nasional. Meskipun usianya baru 28 tahun, tapi
kalau sudah mengenakan seragam kantornya, ia
kelihatan dewasa sekali. Berwibawa dan tangguh.
Matanya jernih dan terang, sehingga
menonjolkan kecantikan alami yang dimilikinya.
Dua bulan pertama aku tinggal dirumah kak Dewi,
semuanya berjalan normal. Aku dan kak Dewi
saling menyayangi sebagaimana adik dan kakak.
Pengahasilan yang lumayan besar
memungkinkan ia menangung segala keperluan
kuliah ku. Memang sejak masuk kuliah, praktis
segala biaya ditanggung kak Dewi.
Namun dari semua kekagumanku pada kak Dewi,
satu hal yang aku herankan. Sejauh ini aku tidak
melihat kak Dewi memiliki hubungan spesial
dengan laki-laki. Kupikir kurang apa kakaku ini ?
cantik, sehat, cerdas, berpenghasilan mapan,
kurang apa lagi ? Seringkali aku menggodanya,
tapi dengan cerdas ia selalu bisa mengelak.
Ujung-ujungnya ia pasti akan bilang, “Gampang
deh soal itu, yang penting karier dulu…!”, aku
percaya saja dengan kata-katanya. Yang pasti,
aku menghomati dan mengaguminya sekaligus.
Hingga pada suatu malam. Saat itu waktu
menunjukan pukul 9.00, suasana rumah lengang
dan sepi. Aku keluar dari kamarku dilantai atas,
lalu turun untuk mengambil minuman dingin di
kulkas. TV diruang tengah dimatikan, padahal
biasanya kak Dewi asyik nongkrongin Bioskop
Trans kesayangannya. Karena khawatir pintu
rumah belum dikunci, lalu aku memeriksa pintu
depan, ternyata sudah dikunci. Sambil bertanya-
tanya didalam hati, aku bermaksud kembali ke
kamarku. Namun tiba-tiba terlintas dibenakku,
“kok sesore ini kak Dewi sudah tidur ?”, lalu
setengah iseng perlahan aku mencoba mengintip
kak Dewi didalam kamar melalui lubang kunci.
Agak kesulitan karena anak kunci menancap
dilubang itu, namun dengan lubang kecil aku
masih dapat melihat kedalam.
Dadaku berdegup kencang, dan lututku
mendadak gemetar. Antara percaya dan tidak
pada apa yang kulihat. Kak Dewi menggeliat-geliat
diatas spring bad. Tanpa busana sehelaipun !!!
Ya Ampun ! Ia menggeliat-geliat kesana kemari.
Terkadang terlentang sambil mendekap bantal
guling, sementara kedua kakinya membelit bantal
guling itu. Kemudian posisinya berubah lagi, ia
menindih bantal guling. Napasku memburu. Ada
rasa takut, malu, dan entah apalagi namanya.
Sekuat tenaga aku tahan perasaan yang
bergemuruh didadaku. Kualihkan pandanganku
dari lubang kunci sesaat, pikiranku sungguh
kacau, tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Namun kemudian rasa penasaran mendorongku
untuk kembali mengintip. Kulihat kak Dewi masih
menindih batal guling. Pinggulnya bergerak-gerak
agak memutar, lalu kemudian dengan posisi agak
merangkak ia menumpuk dan memiringkan
bantal dan guling, lalu meraih langerie-nya. Ujung
bantal itu ditutupinya dangan langerie. Kembali
aku mengalihkan pandanganku dari lubang kunci
itu. Ngapain lagi tuh ?!!, aku tertegun.
Entah kenapa, rasa takut dan jengah perlahan
berganti dengan geletar-geletar tubuhku. Tanpa
sadar ada yang memanas dan mengeras di balik
training yang aku kenakan. Aku meremasnya
perlahan. Ahhh…
Ketika kembali aku mengintip ke dalam kamar,
kulihat Kak Dewi mengarahkan selangkangannya
pada ujung bantal itu, hingga posisinya benar-
benar seolah menunggangi tumpukan bantal itu.
Lalu tubuhnya terutama bagian pinggul
bergoyang goyang dan bergerak-gerak lagi,
setiap goyangan yang dilakukanya secara reflek
membuat aku semakin cepat meremas batang
kemaluanku sendiri. Entah berapa lama aku
menyaksikan tingkah laku kak Dewi didalam
kamar. Nafasku memburu, apalagi manakala aku
melihat gerakan kak Dewi yang semakin cepat.
Mungkin ia hendak mencapai orgasme, dan benar
saja, beberapa saat kemudian tubuh kak Dewi
nampak berguncang beberapa saat, jemari kak
Dewi mencengkram seprai.
Aku tak tahan lagi. Bergegas aku menuju
kamarku sendiri. Lalu kukunci pintu. Kumatikan
lampu, lalu berbaring sambil memeluk bantal
guling dengan nafas memburu. Pikiranku kacau.
Bagaimanapun aku laki-laki normal. Aku
merasakan gelombang birahi menyala dan
semakin menyala didalam tubuhku. Dan makin
lama makin membara. Ah… aku tak tahan lagi.
Dengan tangan gemetar aku membuka seluruh
pakaian yang kukenakan, lalu aku berguling-
guling diatas spring bad sambil mendekap bantal
guling. Aku merintih dan mendesah sendirian.
Diantara desahan dan rintihan aku menyebut-
nyebut nama kak Dewi. Aku membayangkan
tengah berguling-guling sambil mendekap tubuh
kak Dewi yang putih mulus. Pikiranku benar-
benar tidak waras. Aku membayangkan tubuh
kak Dewi aku gumuli dan kuremas remas.
Sungguh aku tidak tahan, dengan sensasi dan
imajinasiku sendiri, aku merintih dan merintih lalu
mengerang perlahan seiring cairan nikmat yang
muncrat membasahi bantal guling. (Besok harus
mencuci sarung bantal…masa bodo…!!!!)…………….
Sejak kejadian malam itu, pandanganku terhadap
kak Dewi mengalami perubahan. Aku tidak saja
memandangnya sebagai kakak, lebih dari itu, aku
kini melihat kak Dewi sebagai wanita cantik. Ya
wanita cantik ! wanita cantik dan seksi tentunya.
Ah…….! (maafkan aku kak Dewi !)
Terkadang aku merasa berdosa manakala aku
mencuri-curi pandang. Kini aku selalu
memperhatikan bagian-bagian tubuh kak Dewi.
Goblok ! mengapa baru sekarang aku menyadari
kalau tubuh kak Dewi sedemikian putih dan
moligh. Pinggulnya, betisnya, dadanya yang
dihiasi dua gundukan itu. Ah lehernya apalagi,
mhhh rasanya ingin aku dipeluk dan
membenamkan wajah dilehernya.
“Hei, kenapa melamun aja ? Ayo makan
rotinya !“, kata kak Dewi sambil menuangkan air
putih mengisi gelas dihadapanya, lalu
meneguknya perlahan. Air itu melewati bibir kak
Dewi, lalu bergerak ke kerongkonganya…. Ahhh
kenapa aku jadi memperhatikan hal-hal detail
seperti ini ?
“Siapa yang melamun, orang lagi …. ammmm
mmm enak nih, selai apa kak ?”, aku mengalihkan
perhatian ketika kedua bola mata kak Dewi
menatapku dengan pandangan aneh.
“Nanas ! itu kan selai kesukaanmu. awas abisin
yah !”, kak Dewi bangkit dari tempat duduknya
lalu berjalan membelakangiku menuju wastafel
untuk mencuci tangan.
“OK, tenang aja !”, mulutku penuh roti, tapi
pandangan mataku tak berkedip menyaksikan
pinggul kak Dewi yang dibungkus pakaian
dinasnya. Alamak, betisnya sedemikian putih dan
mulus…
“Kamu gak pergi kemana-mana kan ?“, kata kak
Dewi. Hari sabtu aku memang gak ada mata
kuliah.
“Enggak…!”, kataku sesaat sebelum meneguk air
minum.
“Periksa semua kunci rumah ya Ted kalo mau
pergi. Kemarin di blok C11 ada yang
kemalingan….!”.
“Mmhhh… iya, tenang aja…”, kataku sambil
merapikan piring dan gelas bekas sarapan kami.
Beberapa saat kemudian suara mobil terdengar
keluar garasi. Lalu suara derikan pintu garasi
ditutup. Dan ketika aku keteras depan, Honda Jazz
warna silver itu berlalu meninggalkan
pekarangan.
Setelah memastikan kak Dewi pergi, aku
kemudian mulai mengamati atap dan jarak antar
ruangan. Sejak kemarin aku telah memiliki suatu
rencana. Aku mau memasang Mini Camera
kekamar kak Dewi, biar bisa online ke TV
dikamarku, he he !.
Sebulan berlalu, otakku benar-benar telah rusak.
Aku selalu menunggu saat-saat dimana kak Dewi
bermasturbasi. Dengan bebas aku melihat Live
Show, lewat mini kamera yang telah kupasang
dilangit-langit kamar Kak Dewi. Aman ! sejauh ini
kak Dewi tak menyadari bahwa segala gerak-
geriknya ada yang mengamati.
Benar rupanya hasil survai sebuah lembaga
bahwa 60 % dari wanita lajang melakukan
masturbasi. Kalau kuhitung bahkan ka Dewi
melakukanya seminggu dua kali. Pasti tidak
terlewat ! malam rabu dan malam minggu.
Kasihan kak Dewi. Ia mestinya memang sudah
berumah tangga. Tapi biarlah, kak Dewi toh
sudah dewasa, ia pasti tahu apa yang
dilakukannya. Dan yang terpenting aku punya
sesuatu untuk kunikmati. Kalau kak Dewi
melakukannya dikamarnya, pasti aku juga.
Ahh…..
Seringkali ditengah kekacauan pikiranku, ingin
rasanya aku bergegas kekamar kak Dewi ketika
kak Dewi tengah menggeliat-geliat sendiri. Aku
ingin membantunya. Sekaligus membantu diriku
sendiri. Gak usah beneran, cukup saling bikin
happy aja. Tapi aku gak berani. Apa kata dunia ?
Malam ini. Aku tak sabar lagi menunggu, sudah
hampir jam sembilan. Tapi kok gak ada tanda-
tandanya. Kak Dewi masih asyik nongkrongi TV
diruang tengah. Aku kemudian bergegas keluar
rumah bermaksud mengunci gerbang.
“Mau kemana Ted ?”,
“Kunci gerbang ah, udah malem !”, kataku sambil
menggoyangkan anak kunci .
“Jangan dulu dikunci, temen kak Dewi ada yang
mau kesini !”,
“Mau kesini ? siapa kak ?”,
“Santi…yang dulu itu lho !”,
“Ohh…!”, aku mencoba mengingat. Sinta ? ah
masa bodo… tapi kalo dia kesini, kalo dia nginep,
berarti …? Yah…! hangus deh.
Aku bergegas kembali kedalam. Dan ketika aku
menaiki tangga ke lantai atas, HP kak Dewi
berdering. Kudengar kak Dewi berbicara, rupanya
temennya si Sinta brengsek itu udah mau datang.
Huh !
Aku hampir aja ketiduran. Atau mungkin
memang ketiduran. Kulihat jam menunjukan
pukul 10.30 malam, ya ampun aku memang
ketiduran.
Cuci muka di wastafel, lalu aku ambil sisa kopi
yang tadi sore kuseduh. Dingin tapi lumayan
daripada gak ada. Lalu seteguk air putih. Lalu
sebatang Class Mild. Dan, asap memenuhi ruang
kamar. Kubuka jendela, membiarkan udara
malam masuk kekamarku. Sepi. Temennya kak
Dewi udah pulang kali ?!.
Kunyalakan TV, tapi hampir seluruh chanel
menyebalkan, Kuis, Lawakan, Ketoprak, Sinetron
Mistery, fffpuih ! kuganti-ganti channel tapi emang
semua chanell menyebalkan, lalu kutekan remote
pada mode video…lho apa itu…?!
Ya ampun ! sungguh pemandangan yang
menjijikan. Apa yang akan dilakukan kak Dewi
dan temannya itu. Aku geleng-geleng kepala, ada
rasa marah, kesal. Aku tidak menyangka kalau
kak Dewi ternyata menyukai sesama jenis. Apa
kata Mama. Ya ampuuuuun…!
Kumatikan TV. Aku termenung beberapa saat.
Aku ambil gelas kopi, satu tetes, kering. Ah air
putih saja. Aku habiskan air digelas besar sampai
tetes terakhir.
Tapi…., aku tekan lagi tombol power TV, Upps…
masih On Line ! Aku melihat kak Dewi dengan
temannya berbaring miring berhadapan. Aku
yakin mereka tanpa busana. Meskipun berselimut,
bagian pundak mereka yang tak tertutup
menunjukan kalau mereka tak berpakaian. Mereka
saling menatap dan tersenyum. Tangan kiri kak
Sinta mengelus-elus pundak kak Dewi. Sementara
kuperhatikan tangan kak Dewi nampaknya
mengelus-elus pinggang kak Sinta, tidak kelihatan
memang tapi gerakan-gerakan dari balik selimut
menunjukan hal itu. Lama sekali mereka saling
pandang dan saling tersenyum. Mungkin mereka
juga saling berbicara, tapi aku tak mendengarnya
karena aku tidak memasang Mini Camera dengan
Mic.Perlahan kepala kak Sinta mendekat, tangannya
menghilang kedalam selimut dan menelusuri
punggung kak Dewi. Aku Cemburu ! Mereka
berciuman dengan penuh perasaan, perlahan
saling mengulum dan melumat. fffpuih ! Ternyata
benar-benar ada tugas pria yang dilakukan oleh
wanita.
Untuk beberapa saat mereka berciuman dan
saling meraba. Aku jadi menahan nafas. Mungkin
aku juga ketularan tidak waras, rasanya ada satu
gairah yang perlahan bangkit didalam tubuhku.
Bahkan, aku mulai mendidih !
Sesaat kak Sinta nampak menelusuri leher kak
Dewi dengan bibir dan lidahnya, aku mengusap
leherku sendiri. Entah kenapa aku merasa
merinding nikmat. Apalagi melihat ekpresi kak
Dewi yang pasrah tengadah, sementara kak Sinta
dengan lembut bolak-balik menjilat leher, dagu,
pangkal telinga. Aku tak tahan melihat kak Dewi
diperlakukan seperti itu. Setelah mematikan
lampu, aku kemudian beranjak ke atas spring
Bad, mendekap bantal guling, sementara mataku
tak lepas dari layar TV.
Situasi semakin seru, kak Dewi kini yang beraksi,
ia kelihatan agak terlalu terburu-buru. Dengan
penuh nafsu ia menjilati dan menciumi leher kak
Sinta yang kini terlentang ditindih kak Dewi.
Kepala kak Sinta mendongak-dongak, aku yakin ia
tengah merasakan gelenyar-gelenyar nikmat
dilehernya. Kemudian kak Dewi berpindah
menciumi dada kak Sinta, sekarang baru nampak
jelas wajah kak Sinta. Ia ternyata cantik sekali,
bahkan sedikit lebih cantik dari kak Dewi. Ah aku
terangsang. Tonjolan dibalik kain sarung yang
kukenakan makin mengeras. Agak ngilu terganjal
ujung bantal guling, sehingga perlu kuluruskan.
Kak Dewi benar-benar beraksi, ia menciumi dan
melahap payudara kak Sinta. Wajah kak Sinta
mengernyit, dan mulutnya terbuka, apalagi ketika
kak Dewi mengemut putting susunya. Ia
Menggeliat-geliat sementara kedua tangannya
mendekap kepala kak Dewi. Bergantian kak Dewi
mengerjai kedua payudara kak Sinta. Kak Sinta
menggeliat-geliat. Semakin liar, apalgi ketika kak
Dewi menyelinap ke dalam selimut. Tiba-tiba
kepala Kak Dewi muncul lagi dari balik selimut,
tengadah mungkin ia tersenyum atau tengah
mengatakan sesuatu, karena kulihat kak Sinta
tersenyum, lalu sebuah kecupan mendarat
dikening Kak Dewi. Sesaat kemudian kak Dewi
menghilang lagi ke dalam selimut. Kak Sinta
tampak membetulkan posisi badannya,
selimutnya juga dirapihkan, aku tak dapat melihat
apa yang tengah dilakukan kak Dewi, tapi
menurut perkiraanku kepala kak Dewi tepat
diantara selangkangan kak Sinta. Entah apa yang
tengah dilakukannya. Namun yang terlihat, kak
Sinta mendongak-dongak, kedua tanganya
meremas-remas kepala kak Dewi. Kepala kak
Sinta bergerak kekanan dan kekiri. Tubuhnya juga
menggelinjang kesana sini. Kondisi seperti itu
berlalu cukup lama. Aku keringatan. Nafasku
memburu. Tanpa sadar kubuka kaus yang
kukenakan, lalu kulemparkan kain sarungku.
Kemaluanku mengeras, menuntut diperlakukan
sebagaimana mestinya. Ah… edan !
Tiba-tiba aku lihat kak Sinta mengejang beberapa
kali. Pinggulnya mengangkat, kedua pahanya
menjepit kepala kak Dewi. Mengejang lagi,
sementara kepalanya mendongak kekanan dan
kiri. Ia terengah-engah, lalu sesaat kemudian
terdiam. Matanya terpejam. Kemudian kak Dewi
muncul dari balik selimut, ia nampak mengelap
mulutnya dengan selimut. Paha kak Sinta
tersingkap karenanya. Kak Sinta kemudian meraih
kedua bahu kak Dewi, mendaratkan kecupan
dikening, pipi kanan dan kiri kak Dewi, lalu
merangkul kak Dewi ke dalam pelukannya.
Beberapa saat mereka berpelukan. Aku yang
menyaksikan kejadian itu hanya dapat menahan
napas, sementara tangan kananku meremas-
remas dan mengurut kemaluanku sendiri.
Dan, kemudian mereka nampak berbincang lagi,
lalu kak Dewi membaringkan badanya.
Terlentang. Kak Sinta menarik selimut, lalu
menyingkirkannya jauh-jauh. Kak Dewi kelihatan
protes, tapi protes kak Dewi dibalas dengan
lumatan bibir kak Sinta. Tubuh kak Sinta menindih
tubuh kak Dewi. Aku melihat, dengan mata
kepalaku sendiri. Dua wanita cantik, dua tubuh
indah dengan kulit putih mulus, tanpa busana,
tanpa penutup apapun. Saling menyentuh.
Kak Sinta kini yang bertindak aktif, ia kini menjilati
leher, pangkal leher, bahu, dada, payudara kanan
dan kiri. Kak Dewi nampak pasrah diperlakukan
seperti itu. Kak Sinta nampak lebih terampil dari
kak Dewi, hampir setiap inci tubuh kak Dewi
dijilati dan dikecupnya. Bahkan kini ia menelusuri
pangkal paha kak Dewi dari arah perut dan terus
bergerak ke awah. Kak Dewi hendak bangun,
kedua tanganya seolah menahan kepala kak Dewi
yang terus bergerak ke bawah, entah mungkin
karena geli atau nikmat yang teramat sangat. Tapi
tangan kak Sinta menahanya, akhirnya kak Dewi
menyerah. Dihempaskannya tubuhnya ke atas
spring bad.
Kak Sinta kini menciumi paha, lutut, bahkan
telapak kaki kak Dewi. Tangan kanan kak Dewi
mengusap-usap kemaluannya, sementara jari-jari
tangan kirinya dimasukan kedalam mulutnya
sendiri. Ia mengeliat-geliat. Tubuh kak Sinta
kemudian berubah lagi. Ia kini telah siap berada
diantara paha kak Dewi. Kak Sinta menarik bantal
dan meletakannya, dibawah pinggul kak Dewi,
sehingga tubuh bagian bawah kak Dewi makin
terangkat. Kepala kak Dewi terjepit persis diantara
selangkangan kak Dewi. Sebelah tangannya
meremas-remas payudara kak Dewi. Aku lihat
tubuh kak Dewi mengelinjang-gelinjang. Tak
sadar aku turut merintih. Semakin kak Dewi
menggelinjang, nafasku semakin memburu.
Tubuhku kini mendekap dan mengesek-gesek
bantal guling, dan batang kemaluanku
menggesek-gesek ujungnya. Nikmat, entah apa
yang kini berada didalam pikiranku. Yang pasti
aku turut larut dalam situasi antara kak Dewi dan
kak Sinta.
“Kak Dewiii… kak Sinta……, ini Tedy…
asssshhh..ahh kak…aku juga..!”, aku merintih dan
terus merintih.
Semakin lama kak Dewi kulihat semakin liar,
badannya bergerak-gerak, naik-turun searah
pinggulnya. Kedua tangannya menangkup kepala
kak Sinta. Semakin lama gerakan kak Dewi
semakin liar, lalu pessss, TV mendadak padam.
Sialan ! lampu diluar juga padam. Gelap gulita.
PLN sialan ! Brengsekkkkkk !!!
Aku terengah-engah, dalam kegelapan. Sudah
kadung mendidih, aku teruskan aksiku meski
tanpa sensasi visual. Aku merintih dan mendesah
sendiri dalam kegelapan. Aku yakin disana kak
Dewi dan kak Sinta pun tengah merintih dan
mendesah, juga dalam kegelapan…….
Dor ! Dor ! Dor !
“Tedy… bangun, udah siang !“, suara ketukan
atau entah gedoran pintu membangunkan aku.
Rupanya sudah siang.
“Bangun…!”, suara kak Dewi kembali terdengar.
“Iya..! udah bangun…”, teriakku. Lalu terdengar
langkah kaki kak Dewi menjauh dari pintu
kamarku.
Ya ampun ! aku terkaget. Berantakan sekali tempat
tidurku. Dan bantal guling…, bergegas aku buka
sarungnya. Wah nembus !
Dengan terburu-buru kurapikan kamarku, jam
menunjukan pukul 8 pagi. Kalau tidak khawatir
mendengar kembali teriakan kak Dewi yang
menyuruh sarapan mungkin aku memilih untuk
tidur lagi. Akhirnya aku keluar kamar, mengambil
handuk, dan bergegas kekamar mandi.
Didekat ruang makan aku berpapasan dengan kak
Dewi yang membawa nasi goreng dari dapur.
Namun bukan itu yang menarik perhatianku.
Rambut lepek kak Dewi yang belum kering benar
jelas terlihat. Aku teringat kejadian tadi malam.
“abis keramas nih yee !”, kataku dalam hati.
“Apa senyam-senyum gitu ?”, kak Dewi
menatapku heran.
“Enggak …! Siapa… lagi yang senyam-senyum.
Mmm enak !”, kataku sambil menyuap sesendok
nasi goreng hangat.
“Mandi dulu sana, dasar jorok !”, kata kak Dewi
sambil meletakan piring yang dipegangnya.
“Jorokan juga kak Dewi, gituan dijilatin hiiii….”,
kataku dalam hati, tapi kemudian bergegas
mandi, eh keramas juga !
Segar sehabis mandi, hampir aku balik lagi ketika
menyadari dimeja makan Kak Dewi tengah
sarapan ditemani kak Sinta.
“Ikutan Indonesian Idol dong ted !, jangan cuma
berani nyanyi dikamar mandi aja !”, itu kalimat
yang pertama kudengar dari kak Sinta. Cantik.
Bener- benar cantik. Sumpah ! tapi matanya itu !
aku merasakan keliaran dimatanya ketika
menatapku yang hanya terbungkus handuk
sepinggang.
“Eh, maaf kirain gak ada kak Sinta, maaf yah…
permisi !”, kataku sambil berlalu.
Buru-buru aku ganti baju, menyisir rambut. Ah
kenapa aku ingin nampak keren. Karena ada kak
Sinta yang cantik kali ya ? Pandang dari kiri dan
kanan. Sip ! Turun kembali ke lantai bawah,
menikmati dua wajah cantik, dan sepiring nasi
goreng bertabur SoGood Sozzis.
“Nih buruan, sarapan dulu !”, kak Dewi yang
kemudian menyuruhku sarapan, sementara
mereka sendiri telah selesai. Aku lalu sarapan
dengan diawasi oleh dua mahluk cantik yang
tidak buru-buru beranjak dari meja makan.
Mereka berbincang ngalor ngidul seputar dunia
kerja. Sesekali aku menimpali meskipun mungkin
enggak nyambung. “Dasar kuli, hari libur gini
masih aja ngurusin kerjaan !”, aku membatin.
“Tumben dihabisin ?”, kata kak Dewi melihat aku
makan dengan lahap.
“Abis enak sih !”,
“Biasanya, dia tuh ! susah makannya, di masakin
ini-itu…!”,
“Bohong kak ! jangan dengerin !”, kataku
menimpali ucapan kak Dewi
“Alah… emang biasanya gitu kok !”, kak Dewi
memotong ucapanku. Kak Sinta hanya
tersenyum aja. Manis lagi senyumnya.
Mmmuah ! ingin rasanya kusentuh bibirnya itu.
Seminggu berlalu, setiap hari rasanya aku
menjadi tambah bejat. Pikiranku kotor terus.
Terbayang kak Dewi dan kak Sinta. Namun yang
lebih sering menari-nari dalam khayalanku
kemudian adalah sosok kak Dewi. Mungkin
karena ia yang tiap hari ketemu. Sehingga pikiran
kotorku kemudian mengacu kepadanya. Aku
merasa bersalah karena kemudian khayalanku
semakin kacau. Aku begitu terobsesi dengan kak
Dewi. Setiap menjelang tidur, pikiranku
melayang-layang membayangkan kak Dewi. Aku
ingin merasakan kehangatan tubuh mulusnya,
mengecap setiap inci kulit halusnya. …
ahhhhhh…..!!!
Rasanya semua hal yang berkaitan dengan kak
Dewi membuatku terangsang. Melihat pakaiannya
yang lagi dijemur saja aku terangsang. Bahkan
entah berapa kali ketika kak Dewi tidak ada
dirumah, aku mempergunakan benda-benda
pribadi kak Dewi menjadi objek fantasiku. Dan
makin lama aku makin berani, hingga aku
melakukan self service, di kamar kak Dewi, ketika
tidak ada kak Dewi tentunya. Seperti siang itu,
sebotol Hand Body Lotion milik kak Dewi
kugenggam erat. Aku terlentang diatas spring bad
kak Dewi. Isi lotion telah kukeluarkan sehingga
melumuri kemaluanku yang mengacung. Kuurut
perlahan, menikmati sensasi yang membuai,
sambil sesekali aku menciumi celana dalam pink
kak Dewi. Aku benar-benar hanyut dan terbuai
dalam kenikmatan. Sehingga aku tak begitu
menghiraukan ketika ada suara-suara didepan
rumah. Ah… kak Dewi biasanya pulang jam 6.30,
sekarang baru jam 2 siang….
Aman..Ach….shhhh…..
Aku terhanyut dan bergelenyar penuh
kenikmatan hingga….
Jeckrek !!! kunci pintu depan dibuka dari luar, lalu
pintu terbuka. Seseorang masuk. Ya ampun ! aku
sungguh panik. Kak Dewi Pulang !!!
Dengan gemetar dan penuh ketakutan aku
mengenakan celana. Ya ampun, berantakan
begini, dan… Hand Body Lotion tumpah… mati
gue !
Tak dapat dicegah karena pintu kamar memang
tak kukunci. Blak…pintu didorong dari luar…
“Tedy…! Ngapain kamu ?”, mata kak Dewi
menatapku tajam.
“ng..mmm ini lagi !”, aku tak berkutik. Baju yang
kugunakan mengelap ceceran Hand Body Lotion
di seprai kugenggam erat. Wangi Hand Body
Lotion tercium kemana-mana. Keringat dingin
membasahi tubuhku yang hanya mengenakan
training. Napasku tercekat manakala menyadari
tatapan kak Dewi ke atas tempat tidur, celana
dalam ka Dewi, langerie kak Dewi, bantal guling,
dan celana dalamku yang tak sempat kupakai atau
kusembunyikan. Shittttt….sialan!
Kak Dewi menghela nafas panjang dan berat,
tatapannya sungguh menakutkan. Aku menggigil
gemeteran. Kak Dewi pastinya dapat menebak
kelakuanku.“Kok cepet pulangnya kak ?”, dengan susah
payah aku bersuara. Tapi kak Dewi tak
memperdulikanku. Ia berlalu, langkah kakinya
menjauhi kamar. Lalu terdengar dentingan gelas,
dan pintu lemari es dibuka.
Bergegas aku membereskan segala yang
berantakan, sekedarnya. Lalu buru-buru
meninggalkan kamar kak Dewi !
“Anjing…!, brengsek “, kataku sambil meninju
dinding. “Bodoh, bodoh !”, aku mengutuk diriku
sendiri. Aku malu sekali. Dengan penuh ketakutan
aku bergegas ganti baju. Pikiranku kacau sekali.
Aku dengan mengendap keluar rumah, motorku-
pun kudorong keluar halaman. Lalu aku kabur…
ketempat kost temanku.
Tiga hari aku aku tak pulang, temanku sampai
terheran-heran dengan kelakuanku. Tapi aku
simpan rapat-rapat masalah yang sebenarnya.
Aku hanya bilang lagi berantem sama kakaku.
Tadinya aku kebingungan juga kelamaan tidak
pulang, mau pulang juga rasanya bagaimana.
Namun sebuah telpon dari kak Dewi membuat
semuanya lebih baik,
“Tedy kamu kemana aja ? kamu dimana ?”,
terdengar suara kak Dewi di HP ku, datar. “mm
ng… dirumah temen kak ?”, kataku sedikit
bergetar.
“Pulang…nanti kalo mamah nanya gimana ?”,
suara kak Dewi masih terdengar datar. Tapi
setidaknya hal itu membuatku sedikit lega. “Iya
kak !”, lalu tak terdengar lagi suara kak Dewi. Aku
tertegun beberapa saat, namun kemudian aku
memutuskan untuk pulang.
Tiba dirumah, tatapan kak Dewi menyambutku.
Aku tak berani menatap wajahnya. “kamu
kemana aja ?”, suara kak Dewi masih terdengar
datar seperti ditelepon. “Mmm…dari rumah
Wawan kak !”,
“Makan dulu…tuh kakak udah masak !”, terdengar
suara kak Dewi dari ruang tengah. “Iya kak !”,
bergegas aku ke meja makan. Melahap makanan
yang tersedia dimeja makan, emang gua
laperrrr !
Besoknya, suasana masih terasa amat hambar.
Kak Dewi tak mengucap sepatah katapun. Ia
membuang muka ketika berpapasan dengan aku
yang bermaksud ke kamar mandi. Selesai mandi,
ganti baju, kembali keruang makan. Aku dan kak
Dewi sarapan seperti biasanya, tapi rasanya
suasana betul-betul mencekam. Kak Dewi
nampak buru-buru menyelesaikan sarapannya.
Akupun bergegas menghabiskan sisa
makananku.
“Kak, maafin Tedy yah !”, kataku sambil
meletakan gelas yang airnya habis kuteguk.
Kak Dewi tak bersuara, tapi matanya menatapku,
penuh keheranan dan tanda tanya, atau mungkin
tatapan apa itu artinya. Entahlah.
Beberapa hari kemudian setelah situasi dirumah
mulai terasa normal, malam itu kak Dewi diruang
tengah nonton TV atau mungkin membaca
majalah. Entahlah atau bisa kedua-duanya,
soalnya TV dinyalakan tapi ia asyik membaca
majalah sambil telungkup dipermadani. Dagunya
diganjal dengan bantal guling. Aku kemudian
duduk disofa, tepat dibelakangnya. Rasanya
badanku gemetar menyaksikan pandangan
dihadapanku. Sittttt !!!! Pikiran gilaku melintas lagi.
Pantat kak Dewi yang hanya dilapisi selembar
baju tidur tipis begitu indah terlihat. Garis celana
dalam yang dikenakanya nampak menggurat.
Betisnya itu, alamak. Aku tak tahan ingin
mengecapnya dengan lidahku. Dan…
“Bikin minum dong, haus nih…!”, Kak Dewi
membalikan badannya, dan melihat kearahku
yang tengah menikmati bagian belakang
tubuhnya.
“Orange, atau susu ?”, tanpa sadar aku melirik
kearah dadanya.
Kak Dewi merasakan pandangan mataku, ia
membetulkan leher bajunya.
“Susu deh ! tapi jangan penuh-penuh yah !”,
“Ok !”, lalu aku pergi ke ruang sebelah. Seperti
kebiasaannya kalau bikin susu ia pasti hanya
minta setengah gelas. “Takut gak abis”, katanya !
“Nih kak !”, kataku sambil meletakkan gelas susu
disebelah kanan. Lalu aku bergerak kesebelah kiri
kak Dewi. Kak Dewi segera mereguk minuman
yang kusediakan untuknya itu. Aku sendiri meraih
majalah yang tengah dibaca Kak Dewi.
“Ih apaan nih, sini ! orang lagi dibaca juga !”, kak
Dewi berusaha meraih majalahnya kembali.
Akhirnya kulepaskan. Aku mengambil remote TV.
Sambil tengkurap disamping kak Dewi, aku
memindah-mindah chanel.
“Kebiasaan Tedy mah, pindah-pindah terus,
balikin TransTV !”, katanya sambil berusaha
meraih remote. Akupun menyerah, kukembalikan
channel ke TransTV.
Lalu aku memiringkan badan, sekarang aku
menghadap kearah kak Dewi. Menatapnya dalam-
dalam. Ah… kakak ku sayang, engkau cantik
sekali. Lalu aku mutup kedua mataku rapat-rapat.
“Kak mau tanya, boleh ?”, kataku sambil tetap
memejamkan mata.
“Tanya apa sih !”, ia menjawab tanpa menoleh.
“ng…mmmm kenapa Tedy akhir-akhir jadi aneh
yah ?”,
“Maksudnya apa ?”,
“Tapi kak Dewi jangan marah yah !”,
“Akhir-akhir ini, tedy sering error. Pikiranya yang
begituuu.. aja. Gak siang gak malem, pusing
deh !”,
“Mikirin apa sih ?”,
“Ah… kak Dewi ini. Maksud Tedy… mmm jangan
marah yah. Rasanya Tedy gampang terangsang
deh !”, kubuka mataku, keterkejutan nampak
diwajah kak Dewi. Lalu ia menghela nafas
panjang.
“Kebanyakan nonton film jelek kali. Tuh
dikomputer hapus-hapusin gambar gambar jelek
kayak gitu !”,
“Bisa juga sih…, kalau masturbasi bahaya enggak
sih kak?”, aku kembali melontarkan pertanyaan
yang mengagetkannya.
”Apaan sih gituan di tanya-tanyain ?!”, nampak
kak Dewi agak gusar menimpali pertanyaanku.
“Kalau kata temen tedy sih, mendingan
masturbasi daripada main sama cewek nakal,
bisa penyakitan !”,
Tak terdengar komentar. Waduh aku kehabisan
kata-kata.
“Sebenarnya gara-gara kak Dewi sih !”, dan aku
menunggu. Benar saja, kak Dewi bereaksi. Ia
menatapku penuh tanya.
“Menurut sebuah survai, 60 % wanita lajang
melakukan masturbasi, bener kan ?”, aku kembali
melontarkan pukulan kata-kata.
“Kata siapa kamu ?”,
“Kata koran dannnnn… lubang kunci !”,
“Maksud Tedy apa sih…? Kakak jadi pusing !”,
“Tedy tahu rahasia kak Dewi !”,
“Rahasia apa ?”,
“Kak Dewi suka menggeliat-geliat ditempat tidur
tanpa pakaian dan memeluk bantal guling !”,
akhirnya. Mata Kak Dewi membeliak kaget.
Tatapan matanya menyiratkan rasa marah dan
malu, tapi ia berusaha menutupinya.
“Kamu ngintip ?”,
“Gak sengaja sih…!”, kubenamkan mukaku
dipermadani sambil menunggu efek selanjutnya.
“Tapi tenang aja. Rahasia kak Dewi aman kok
ditangan Tedy. Dan rahasia Tedy ada ditangan
kak Dewi. Sama-sama aman ok ?!”, Kak Dewi tak
bersuara. Benar-benar terdiam. Ia malah
membolak-balikan halaman majalah.
“Meskipun ada satu rahasia lagi !”, tampak wajah
kak Dewi kembali menegang. Pandanganya
mengarah kepadaku, yang kini juga menatapnya.
“Kak Sinta… !”, kataku. Kak Dewi benar-benar
terhenyak. Ia bangkit hingga terduduk. Aku
membalikan badan, terlentang disamping kak
Dewi.
“Tenang aja. Tedy gak akan membocorkannya ke
siapa-siapa kok !”,
“Tedy tahu semuanya ?”, kata kak Dewi tiba-tiba.
Pandangan matanya kini memelas dan penuh
ketakutan. Aku menganggukan kepala.
“Jangan bilang siapa-siapa, jangan bilang mamah.
Please !”, kak Dewi mengguncang bahuku.
“Tenang…pokoknya aman !”,
Kak Dewi nampak gelisah. Aku tidak tega
melihatnya. Kak Dewi yang sangat baik padaku
telah aku antarkan pada suatu kondisi serba salah
dan menakutkan baginya. Tapi sudahlah.
Tiba-tiba terdengar dering telp, bergegas aku
bangun dan mengangkat gagang telpon.
“Halloo..!”, terdengar suara perempuan
diseberang sana.
“Hallo…!”, kataku
“Ini tedy yah ?, kak Dewi ada ?”, suara itu
terdengar lembut.
“ng.. ini siapa yah ?”, kataku sambil menduga-
duga.
“Ini Sinta…kak Dewi-nya ada ?”,
“Ada…sebentar ya kak !”, kataku.
“Kak… ini kak Sinta !”, kataku pada kak Dewi.
Kulihat tiba-tiba expresi kak Dewi menegang.
Namun tak urung ia mendekatiku, dan menerima
gagang telepon yang kusodorkan.
“Haloo..”,
Aku bergegas pergi, tak ingin mengganggu
“sepasang kekasih” yang telepon-an. Aku naik ke
lantai atas, menuju kekamarku sendiri. Kukunci
pintu kamar, mematikan lampu, dengan perasaan
campur aduk.
Beberapa saat kemudian kudengar langkah kaki
kak Dewi di tangga menuju kearah kamarku. Lalu
tiba-tiba aku mendengar ketukan dan suara kak
Dewi. Aku terdiam, menunggu. “Tedy…!”,
kembali terdengar ketukan. Kunyalakan lampu lalu
membuka kunci pintu kamar.
Tanpa kupersilahkan kak Dewi menyeruak masuk
lalu duduk dipinggir tempat tidur. “Tedy…”, kak
Dewi tiba-tiba memecahkan keheningan.
Aku yang hendak menyalakan rokok, menoleh.
Kulihat kak Dewi menatapku dalam-dalam.
Nampaknya ada sesuatu yang ingin diucapkanya.
Tak jadi menyalakan rokok. Aku menarik kursi,
dan membalikanya sehingga menghadap kearah
kak Dewi. Lalu aku duduk dihadapan kak Dewi.
“Tedy bisa pegang rahasia kan ?”, ia menatapku
sungguh-sungguh. Ada ketakutan dimatanya.
“Masalah apa ?”,
“Sinta…!”,
“Oh…!”, aku mengangguk perlahan.
“Jangan sampai Mamah tahu !’,
Aku hanya menatapnya, lalu tersenyum hambar.
“Janji ?!”, kak Dewi menatapku dalam-dalam.
“Janji !”, kataku sambl mengacungkan telunjuk
dan jari tengahku.
“Tedy boleh minta apa aja, pasti kakak turutin,
syaratnya satu, gak boleh bocorin rahasia !”,
“Tenang…aman !’, kataku agak bergetar.
“Tedy mau minta apa sama kaka?”, nampaknya
kak Dewi mencoba bernegosiasi, he he….
“ng…gak minta apa-apa deh…mmm…”, sungguh
tak terpikir untuk minta sesuatu pada kak Dewi,
lagi pula aku sama sekali gak kepirkiran untuk
membocorkan rahasianya. Namun tatapan liarku
kearah dada ka Dewi sungguh dinterpretasikan
oleh kak Dewi.
“Kakak tahu kok apa yang Tedy inginkan, sini…!”,
kak Dewi menepuk spring bad, mungkin
maksudnya menyuruhku duduk disampingnya.
Aku ragu sesaat.
“Sini….!”, katanya mengulang.
Meskipun ragu aku kemudian beranjak, dan
dengan bingung aku duduk disebelahnya.
Darahku berdesir saat jemari lembut kak Dewi
mengusap punggung tanganku. Lalu ia meraih
telapak tanganku. Jemari tanganku
digenggamnya.
“Pasti Tedy sekarang lagi error !”, tiba-tiba kak
Dewi berkata datar,
“Apaan sih kak ?”, kataku agak jengah.
“Pake pura-pura lagi !”, kak Dewi mendorong
tubuhku. Karena Kak Dewi mengisyaratkan agar
aku terlentang maka aku segera terlentang
dengan kakiku menjuntai kelantai.
“Tedy pengen ini kan ?”, jemari kak Dewi
merayapi pahaku. Aku terhenyak menahan nafas.
Kemudian kak Dewi tanpa ragu mulai meremas
kemaluanku perlahan, ahh….., kedua lututku
terangkat parlahan, lalu kuturunkan lagi.
“Kak…”, kataku lirih
“sst…kakak tahu apa yang Tedy inginkan, tenang
aja…”, kak Dewi benar-benar meremas-remas
kemaluanku. Geletar nikmat perlahan merayap,
seiring makin mengerasnya batang kemaluanku.
Kuraih bantal, kudekap hingga menutupi mukaku.
Rasa jengah dan nikmat membaur menjadi satu.
“Pake malu-malu lagi !”, kak Dewi memaksaku
melepaskan bantal. Akhirnya untuk aku hanya
bisa menutup mata dan menikmati gelenyar
kenikmatan dari setiap remasan tangan kak Dewi.
“Ah…shhh..kak….!”,Tanganku perlahan merayap kearah pinggang kak
Dewi, meremasnya perlahan seiring geliat
kenikmatan. Aku semakin berani karena kak Dewi
tak menolak remasan tanganku dipinggangnya.
Tiba-tiba, “Udah ya…cukup segitu aja !”, tiba-tiba
kak Dewi menghentikan remasan tanganya.
“Ah kakak !”, aku merintih kecewa, hampir aku
melonjak bangun.
“Kenapa ?”, ia menatapku, sebuah senyum seolah
menggoda aku yang tengah konak.
“Tanggung…please…!”, aku merintih dan
memelas.
“Dasar….”, katanya sambil memijit hidungku.
Tanpa ragu aku melepaskan training yg
kukenakan, kemaluanku yg sungguh telah
mengeras, mendongak…
Nampak ada rasa jengah pada tatapan kak Dewi,
aku bangkit dari tidurku, “Please…!”, lalu kuraih
tangan kak Dewi agar menjamah kemaluanku.
Akhirnya tak urung kak Dewi menuruti
kemauanku.
Kembali kuhempaskan tubuh, lalu menunggu kak
Dewi melakukan hal yg seharusnya. Tangan
lembut dan halus kak Dewi menggenggam
kemaluanku, nampaknya ia agak ragu, badanku
mengerjap sesaat, ketika tangan kak dewi mulai
meramas kemaluanku dengan perlahan.
Kupenjamkan mata, menikmati setiap kenikmatan
yang datang. Semakin lama keinginanku semakin
kuat. Aku merintih, mendesah dan sesekali
menggeliat.
Remasan tangan kak Dewi memang nikmat,
namun semakin lama aku menginginkan lebih,
lalu aku meraih Hand Body dari sela-sela pinggir
springbad, dengan gemetar kusodorkan pada kak
Dewi.
“Apa ini ?”,
Meski terlihat ragu, perlahan kak Dewi meraih
Hand Body Lotion, membuka tutupnya,
menumpahkannya ditangan kanannya. Lalu ia
melumuri kemaluanku. Ahhh..
“Maafin Tedy ya kak !”,
“Iya anak nakal !”, katanya. Mungkin seharusnya
ia tersenyum tapi aku tidak melihatnya.
“Digimanain ?”, katanya berbisik perlahan.
“Urut aja, keatas dan kebawah, pelan-pelan !”,
“Begini…!”,
“Ya…ah… shhh… kak Dewi…!”, akupun tenggelam
dan terbuai dalam kenikmatan. Belaian lembut
tangan Kak Dewi sungguh membuat aku terlena.
Dan tanpa kuminta kak Dewi telah cukup paham
ketika sudah agak mengering dan kesat
ditambahkannya lagi cairan Hand Body itu. Ia
telah tahu yang kuinginkan. Caranya mengurut
dan meremas sungguh sempurna. Aku
kemudian hanya bisa pasrah, merintih dan
mendesah.
“ssshhhh… kaka…mkasihhhh…. Mmmm shhhhh
enak !”,
Aku terus merintih dan merintih. Kak Dewi benar-
benar memanjakan aku. Ia mengurut dan
membelai membuat aku terasa melambung-
lambung. Tapi lama kelamaan ada rasa ngilu
dikemaluanku. Makin lama makin ngilu.
“kenapa ? udah ?”, kak Dewi bertanya ketika
tanganku menahan gerakan tanganya yang
masih mengurut dan membelai. “Ngilu…!”, kataku
berbisik.
Lalu aku bangkit dari tempat tidurku, sehingga
kami duduk berdampingan. Kak Dewi terlihat
berusaha mengelap cairan Hand Body yang
berlepotan ditanganya. Trainingku menjadi
korban. Tanggung sekalian kotor, akupun
mengelap kemaluanku dari cairan handbody.
Kami terdiam, beberapa saat.
“Tahu enggak sebenarnya Tedy suka pake bantal
guling. Seperti Kak Dewi !”,
“Apa enaknya…!”, pertanyaan itu seolah terlontar
begitu saja.
“Ya enak aja. Gesek-gesek. Sambil
membayangkan sedang memeluk kak Dewi !”.
“Dasar !”, ia memelintir kupingku.
“kak Dewi…!”,
‘Apa..?”,
‘Tanggung nih !”,
“Tanggung apanya ?”,
“Pura-pura jadi bantal guling mau ?”,
“Apalagi nih !”,
“Tedy gak tahan nih. Tapi kak Dewi gak usah
khawatir. Tedy gak merusak apapun. Kak Dewi
tetap berbaju lengkap. Kak Dewi hanya berbaring
aja. Nanti Tedy…!”, kak Dewi terdiam tak
menjawab.
“Cuma gesek-gesek aja !”, aku kemudian
menandaskan.
“Gimana ? kamu ini aneh-aneh aja ?”,
“Berbaring dulu kak Dewi-nya. Pokonya aman
deh. Tedy gak bakalan merusak apapun. Janji !”,
kataku sambil setengah mendorong tubuh kak
Dewi.
Kak Dewi tak urung menurut. Ia beringsut keatas
spring bad, lalu kubaringkan tubuhnya hingga
terlentang.
Dengan bergetar kemudian aku berbaring
menyamping. Lalu kakiku menyilang keatas dua
kakinya. Selangkanganku kini menempel ke
pahanya. Sayang masing terlindung pakaian yang
dikenakannya. Tapi lumayan enak. Lalu aku mulai
menggesek-gesekan kemaluanku kepaha kak
Dewi. Rasa nikmat perlahan mengalir seiring
gesekan itu. Makin lama makin terasa enak.
Tangan kak Dewi kupaksa agar mau melingkari
pinggangku. Aku terus menggesek dan
menggesek. Sesaat aku lepaskan bajuku, aku kini
telanjang bulat, menelungkup tubuh kak Dewi
yang masih terbungkus Langerie…
”shhhh…. Mmmm enak kak. Enak ! shhhhh
ahhhh shhh !”, tanpa sadar aku menciumi bahu
kak Dewi. Aku semaki berani karena kak Dewi
membiarkan aku menciumi pundaknya. Makin
lama tubuhku makin bergeser. Tahu-tahu aku kini
berada diantara dua paha kak Dewi. Kemaluanku
menggesek-gesek persis kemaluan kak Dewi.
Sungguh nikmat. Geletar-geletar birahi makin
memuncak. Aku mendesis dan merintih sambil
sesekali mendaratkan ciuman ke pundak kak
Dewi. Lambat laun aku menyadari, setiap aku
bergerak dan menggesek, tubuh kak Dewi ikut
bergerak seirama gerakan tubuhku. Bahkan
beberapa kali ia membetulkan posisi pinggangku.
Kemaluanku terus menggesek-gesek kemaluan
kak Dewi. Dan terus bergoyang-goyang
berirama.
“Kurang keatas…sakit tahu !”, suara ka Dewi
terdengar memburu.
Aku menurut. Aku bergerak lebih keatas. Paha
kak Dewi bergerak seolah memberi ruang agar
tubuhku bergerak lebih leluasa.
“Pelan…pelan…”, ia mendesis,
“Enak kak?’, akhirnya kulontarkan pertanyaan itu.
Kak Dewi terdiam. Namun nafasnya semakin
terdengar memburu. Jemari tangannya terasa
meremas-remas punggungku.
Tanpa meminta persetujuan aku berusaha meraih
celana dalam kak Dewi.
“Mau apa ?”,
“Biar gak sakit lepasin aja yah ?”, ia sedikit
mempertahankanya.
“Please !”, kataku. Akhirnya kak Dewi menurut.
Bahkan kakinya bergerak-gerak membantuku
melepaskan celana dalam itu. Aku tidak
bermaksud menyetubuhi kak Dewi. Tidak benar-
benar maskudku. Biar bersentuhan lebih dekat
aja. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Kemaluanku menempel pada kemaluan wanita.
Sungguh sensasinya luar biasa.
Kemaluanku mengarah kebawah, terjepit diantara
paha kak Dewi. Lalu aku mulai menggesek-
kesekanya. Ada sesuatu yang hangat namun
basah dibawah sana. Semakin kugesekkan
semakin terasa nikmat. Tiba-tiba aku mendengar
kak Dewi mendesah pelan. Kepalanya
mendongak. Kuulangi gerakan dan gesekanku,
kembali ia mendesah. Akhirnya kuulangi gesekan
diwilayah itu. Aku senang mendengar kak Dewi
mendesah-desah dan merintih. Kami ternyata
berada pada posisi saling berdekapan. Wajah
kami begitu dekat. Aku merasakan semburan
nafas hangat kak Dewi. Dengan lembut
kudaratkan bibirku didagunya. Kemudian
bergeser, perlahan. Akhirnya bibir kami bertemu.
Bibir kak Dewi awalnya diam tak bereaksi ketika
bibirku berusaha melumat, tapi lama kelamaan
bibir itu membalas lumatan bibirku. Kami
berpagutan dan saling melumat. Semakin lama
segalanya semakin liar. Aku kini bahkan sudah
mengecap, menjilat bahkan setengah menggigit
leher kak Dewi. Ketika jilatan lidahku menyerang
pangkal leher dibawah telinganya, kak Dewi
mendesah dan merintih. Aku kini benar-benar
membuat kak Dewi menjadi hilang kesadaran. Ia
telah menjadi benar-benar liar. Diarahkannya
kepalaku untuk menciumi dadanya. Aku maklum
dengan apa yang diinginkan kak Dewi. Aku bangit
dari cengraman tubuhnya. Lalu dengan gemetar
kubuka Langerie yang dikenakan kak Dewi.
Kemudian Bra yang dikenakannya. Kini tubuh kak
Dewi tak berbalut selembar benangpun,
sebagaimana aku. Tak tahan berlama-lama aku
merangkul tubuh kak Dewi. Aku menggumulinya
dengan penuh nafsu. Aku jilat setiap inci
tubuhnya, semakin kak Dewi merintih semakin
aku mejilat dan menggigit. Putting susunya
bergantian aku lahap. Aku bagai orang yang
kesetanan. Tanpa terasa aku mulai menjilati tubuh
kak Dewi bagian bawah. Bahkan aku kini mulai
menciumi pangkal paha dan selangkangannya.
Kak Dewi merintih dan melenguh. Aku tak tahu
bagaimana cara menjilat yang baik dan benar.
Pokonya semakin keras rintihan kak Dewi
semakin lama aku menjilat. Kupingku terasa
berdenging dan pekak karena terjepit kedua paha
kak Dewi. Aku menjilat dan terus menjilat
kemaluan kak Dewi. Meskipun hidungku
mencium aroma yang aneh, dan lidahku
mengecap rasa yang aneh pula. Aku terus
menjilat. Bahkan bibirkupun mencium bagian-
bagian kemaluan kak Dewi. Aku bahagia
mendengar kak Dewi Merintih-rintih dan menjerit.
Sampai kemudian kak Dewi menarik kepalaku.
“Sudah-sudah ! ngilu !”,
“Ngilu ?”, batinku. Bukanya enak ?
Nafas kak Dewi tersengal-sengal. Aku segera
mengelap mulutku dengan baju kak Dewi,
mengusir perasaan tidak nyaman dimulutku.
Namun aku masih bernafsu. Ketika aku
bermaksud menaiku tubuh kak Dewi.
“Tunggu sebentar. Masih ngilu !?”, katanya.
Akhirnya aku hanya dapat menciumi perut dan
dada serta payudara kak Dewi. Kedua tangan kak
Dewi membelai-belai rambutku.
Tubuhku perlahan mulai merayap kembali. Masuk
kedalam dekapan hangat tubuh kak Dewi. Rasa
nikmat itu perlahan kembali mengalir. Kemaluan
kami kembali bergesekan. Dan aku mulai
meracau…
“Jangan !”, kak Dewi menahan tubuhku. Aku tak
tahan lagi. Aku ingin memasukannya. Aku ingin
merasakan terbenam dalam lembah kenikmatan
itu.
“Jangaaaaannn… please ! Tedy jangan !”, kak Dewi
memohon ketika aku mencoba dan memaksa
untuk kedua kalinya.
“Tedy udah gak tahan kak ! gak tahan lagi !”,
“Tapi Tedy udah janji, gak bakalan merusak.!”,
kak Dewi menghiba.
“Tedy udah gak tahannnnnn….shhhh !”,
“Kak Dewi juga sama. Tapi please jangannnn
shhh !”,
Kak Dewi berbisik dengan nafas memburu. Aku
tak tahan lagi. Namun kemudian otak warasku
hadir. Kalau dengan bantal guling saja aku bisa
puas, kenapa sekarang enggak.
Aku ambil celana dalam kak Dewi, lalu kugunakan
untuk menutupi kemaluan kak Dewi. “Tedy
pengen keluar disini, boleh yah !”. setengah
memohon aku berbisik.
Karena tak dilarang segera aku memposisikan
kemaluanku. Mengarah kebawah dan terjepit
paha kak Dewi. Kedua Kemaluan kami hanya
dipisah selembar celana dalam. Dan aku
kemudian mulai menggesek. Mencari sensasi
kenikmatan itu. Aku menggesek dan menggesek.
Tak beberapa lama, gelombang kenikmatan itu
datang. Cratt cratt…..
Aku terkapar diatas tubuh kak Dewi. Terdiam
beberapa saat, sebelum kak Dewi mendorong
tubuhku yang menindih tubuhnya. Aku terbaring
ke samping. Ingin rasanya aku memeluk kak
Dewi berlama-lama. Tapi kak Dewi buru-buru
bangkit. Dikenakannya Langerie-nya kembali. Lalu
bergegas ia keluar dari kamarku. Celana dalamnya
yang basah berlumuran ditinggalkannya !
Sejak saat itu, rahasia dirumah ini bertambah,
sampai sekarang kami terus melakukanya, tidak
terlalu sering memang, namun ketika aku
menginginkan atau ketika kak Dewi
“kepengen” (begitulah istilah kak Dewi), maka
kami akan melakukannya. Didapur, dikamar
mandi, diruang tengah, bahkan diruang tamu.
Satu hal yang tetap kami jaga, kami tidak benar-
benar bercinta, sungguh akupun komit dengan
janjiku, aku teramat menyayangi kak Dewi, aku
tak ingin merusaknya, semua yang kuperoleh
telah lebih cukup bagiku. Dan mudah-mudahan
akan tetap saperti itu. --(semoga kak Dewi tak
membaca tulisan ini)--


Adult | GO HOME | Exit
1/1100
U-ON

inc Powered by Xtgem.com